Realisme kerakyatan di Yogyakarta
Kali ini saya akan
memposting sebuah makalah tentang Realisme Kerakyatan di Yogyakarta.
Dan
makalah ini disusun oleh siswi SMAN 1 PACIRAN LAMONGAN Tahun Pelajaran
2012-2013. Dan ketika saya memposting ini saya masih duduk di SMPN 1 PACIRAN
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah yang maha esa, yang
telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah yang mengulas tentang
realism kerakyatan di Yogyakarta ini berhasil kami buat.
Adapun tujuan
pembuatan makalah ini adalah untuk menyelesaikan dan menuntaskan tugas yang
diberikan oleh guru seni budaya.
Kami menyadari
bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Karena itu kepada
para pembaca dimohon memberikan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini.
Untuk itu kami
sampaikan terimakasih yang sebanyak-banyaknya. Semoga makalah ini benar-benar
bermanfaat bagi kita, khususnya bagi para siswa SMA NEGERI 1 PACIRAN. Akhirnya
kami memohon kepada Allah SWT, semoga selalu melimpahkan taufik dan hidayah-Nya
kepada kita semua (Aamiin)
BAB I
A. LATAR BELAKANG
Makalah ini dibuat untuk menyelesaikan tugas
seni budaya yang diberikan oleh guru. semoga bermanfaat bagi para pembaca.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Karya apa yang dibuat oleh para seniman di Yogyakarta
saat itu ?
2. Sejak
kapan revolusi fisik di Yogyakarta ?
3.
Organisasi apa yang dibentuk oleh para seniman di Yogyakarta ?
C. TUJUAN
1. Untuk
mengetahui awal terjadinya relisme di Yogyakarta
2. Untuk mengetahui organisasi organisasi yang
ada di Yogyakarta
3.
Untuk mengetahui sejak kapan revolusi
terjadi di Yogyakarta
D. MANFAAT
Agar kita lebih mengetahui tentang sejarah terjadinya
perkembangan kesenian di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.
BAB
II (PEMBAHASAN)
Realisme
kerakyatan di Yogyakarta
Realisme
di dalam seni rupa berarti usaha menampilkan subjek dalam
suatu karya sebagaimana tampil dalam kehidupan sehari-hari tanpa tambahan
embel-embel atau interpretasi tertentu. Maknanya bisa pula mengacu kepada usaha
dalam seni rupa unruk memperlihatkan kebenaran, bahkan tanpa menyembunyikan hal
yang buruk sekalipun.
Kepindahan ibu kota ke Yogyakarta,
sejumlah pelukis juga ikut hijrah ke Yogyakarta. Banyak berkarya dengan
tema-tema perjuangan. Para pelukis yang tinggal di Yogyakarta ini mulai melukis
dengan tema-teman yang mengkritik perkembangan keadaan sosial yang timpang.
Pelukis Yogya dikenal sebagai Realisme Kerakyatan. Ada pula yang menyebutnya
sebagai Realisme Sosial.
Para pelukis tersebut mendirikan
organisasi seniman yang dikenal sebagai ‘Pelukis Rakyat’. Organisasi ini semakin
berkembang karena memiliki hubungan erat dengan tokoh pemerintahan. Selain itu,
perkumpulan ini pun memiliki hubungan yang erat dengan Lembaga Kebudayaan
Rakyat (LEKRA). Lembaga ini amat berpengaruh dalam menentukan arah kebudayaan
nasional.
Kepedulian para seniman Yogyakarta
terhadap penderitaan masyarakat amatlah tinggi, para periode selanjutnya ‘jiwa
kritis’ yang telah menjadi ciri seniman Yogya pada umumnya tetap tumbuh ada
sejumlah seniman generasi baru.
Sejak Revolusi Fisik tahun 1946 dan
kepindahan ibu kota ke Yogyakarta, sejumlah pelukis juga ikut hijrah ke
Yogyakarta. Para pelukis yang hijrah ini kemudia menetap di Yogyakarta dan
banyak berkarya dengan tema – tema perjuangan. Setelah situasi nasional mulai
membaik dan pusat pamerintahan dikembalikan ke Jakarta, para pelukis yang
tinggal di Yogyakarta ini mulai melukis dengan tema – tema yang mengkritik
perkembangan keadaan social yang timpang. Gaya yang dianut oleh sejumlah
pelukis Yogya tersebut dikenal sebagai Realisme Kerakyatan. Adapula yang
menyebutnya sebagai Realisme Sosial.
Para pelukis tersebut mendirikan organisasi seniman pada
tahun 1950 yang dikenal sebagai “ Pelukis Rakyat”. Organisasi ini
semakin berkembang karena memiliki hubungan erat dengan tokoh pemerintahan,
sehingga memperoleh banyak pesanan karya lukisan, patung, dan relief untuk
gedung – gedung pemerintahan. Selain itu, perkumpulan inipun memiliki hubungan
yang erat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat ( LEKRA ) yang didirikan pada tahun
1950. Pada waktu itu lembaga ini amat berpengaruh dalam menentukan arah
kebudayaan nasional.
Kepedulian para seniman Yogyakarta terhadap penderitaan masyarakat
amatlah tinggi. Hingga, pada periode selanjutnya ‘jiwa kritis’ yang
telah menjadi cirri seniman Yogya pada umumnya tetap tumbuh pada sejumlah
seniman generasi baru. Merika tetap konsisten mengekspresikan fenomena social
yang terjadi di sekitarnya. Sebagaimana ditengarai
Selo Soemardjan (1981), Yogyakarta tidak hanya menjadi pusat berbagai macam
pembaruan politik, tapi juga tempat ideal bagi eksperimen-eksperimen seni rupa.
Lahirnya masterpiece, seperti lukisan Affandi berjudul Laskar Rakjat Sedang
Mengatur Siasat, lukisan Pengantin Revolusi karya Hendra Gunawan, lukisan
Sudjojono bertajuk Seko Pemuda Gerilya, dan lukisan Persiapan Perang Gerilya
karya Doellah adalah buktinya.
Dengan sikap berseni rupa semacam itu, mereka
menjemput modernitas–yang pada
masa itu
lebih dikenal dengan istilah “baru” atau “kebaruan” karena istilah “modern”
masih berkonotasi negatif seperti terdapat dalam banyak tulisan Soekarno.
Obesesi “baru” itu, menurut Denys Lombard
(1996), sesungguhnya merefleksikan “dampak” Barat terhadap sikap berseni rupa
Affandi dan kawan-kawan pada masa itu dalam bentuk “keterputusan dalam hal
teknik: cat minyak, perspektif, penggunaan model; dan terutama keterputusan
inspirasinya: pemandangan, potret, adegan-adegan cerita, tokoh drama”.
Dengan
demikian, tak berlebihan jika dikatakan bahwa “keterputusan” itu telah
melahirkan “satu generasi yang unik”–untuk memakai istilah Umar Kayam
(2005)–yang “pada lukisan-lukisan mereka itulah terpantul juga perjalanan kita
menjadi satu bangsa, memenangkan revolusi, dan membangun suatu negara merdeka”.
Sementara
itu, Pelukis Indonesia Muda, yang didirikan oleh pelukis Widayat dan Sajogo
pada 1952, memang tak semoncer Seniman Indonesia Muda dan Pelukis Rakjat. Meski
demikian, Pelukis Indonesia Muda perlu diketengahkan dalam perhelatan ini
mengingat peran mereka sebagai pengusung ideologi humanisme universal di dunia
seni rupa Yogyakarta yang mengejawantah dalam lukisan-lukisan abstrak dan
dekoratif.
Selain
Seniman Indonesia Muda, Pelukis Rakjat, dan Pelukis Indonesia Muda, di gedung
bekas De Javasche Bank–bank swasta pada zaman Hindia-Belanda yang beroperasi
pada 1879–itu, berdasarkan riset ekstensif Indonesian Visual Art Archive, akan
digelar arsip-arsip visual Yogyakarta Biennale I-IX, dengan pusat perhatian
pada Biennale Eksperimental, yang muncul pada 1992 sebagai reaksi perupa muda
terhadap pengelola Yogyakarta Biennale, yang mengabaikan eksistensi mereka
waktu itu.
Berjarak 500
meter ke arah utara, di luar dan di dalam gedung pameran Taman Budaya
Yogyakarta, yang dibangun pada 1996, kita bisa menyaksikan pusparagam karya
seni rupa mutakhir milik 32 perupa kiwari Yogyakarta. Di antaranya, Budi
Kustarto, Dadang Christanto, Eddie Hara, Eko Nugroho, Heri Dono, Ivan Sagita,
Nyoman Masriadi, dan Wedhar Riyadi.
Dari sanalah Yogyakarta Biennale X 2009 akan
memulai pertemuan kreatif lintas generasi perupa Yogyakarta untuk menyurat yang
silam, menyingkap yang tersembunyi, serta menggurat yang menjelang dalam
sejarah, tradisi, dan kehidupan berseni rupa di Yogyakarta.
Hal itu juga dapat kita temukan di Sangkring
Art Space, yang berjarak 3,5 kilometer ke arah barat dari Taman Budaya
Yogyakarta. Di ruang seni milik perupa Putu Sutawijaya ini, tergelar aneka rupa
karya 45 perupa kontemporer Yogyakarta, di antaranya Abdi Setiawan, Agapetus
Kristiandana, Bayu Yuliansyah, Edo Pop, F. Sigit Santosa, Handiwirman, Hendra
“Hehe” Harsono, I Gusti Ngurah Udiantara, Jumaldi Alfi, Rudi Mantofani, dan
Tommy Wondra.
Beranjak dari sana, 2 kilometer ke arah utara,
pameran dilanjutkan di National Museum. Di bekas kampus Sekolah Tinggi Seni
Rupa Indonesia ASRI-ISI Yogyakarta ini akan dipamerkan dokumentasi visual dan
karya-karya gerakan seni rupa, seperti Bumi Tarung, Sanggar Bambu, Kepribadian
Apa, Rumah Seni Cemeti, Taring Padi, dan Indieguerillas.
Rasanya tidaklah berlebihan membayangkan sebuah
perjumpaan eksistensial yang membahagiakan antara Bumi Tarung, yang memeluk
teguh paham realisme sosial atawa humanisme kerakyatan, dan Sanggar Bambu, yang
menganut keyakinan humanisme universal.
Sementara itu, kehadiran Kepribadian Apa dapat
menjadi tanda semacam upaya membangkitkan batang terendam di antara
eksponen-eksponen gerakan seni rupa yang dimotori oleh Gendut Riyanto, Haris
Purnama, dan Ronald Manulang itu. Perlu diketahui, dalam historiografi seni
rupa Yogyakarta, Kepribadian Apa disebut-sebut sebagai salah satu gerakan seni
rupa anak muda yang menghebohkan jagat seni rupa Yogyakarta karena keberanian
mereka memamerkan karya bermuatan kritik sosial-politik. Tak mengherankan jika
gerakan ini mendapat terjangan aparat militer pada September 1977.
Selain gerakan-gerakan seni rupa tersebut, di
museum ini akan digelar karya-karya kontemporer, antara lain ciptaan Entang
Wiharso, Bambang “Toko” Witjaksono, Dipo Andi, Farhan Siki, Ismail “Sukribo”,
Jompet, Terra Bajraghosa, Venzha, Yudi Sulistya, dan Yusra Martunus.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari bahasan makalah yang kami buat ini dapat
disimpulkan bahwa realisme kerakyatan di Yogyakarta adalah karya dengan
tema – tema perjuangan. yang mengkritik perkembangan keadaan social yang
timpang. Gaya yang dianut oleh sejumlah pelukis Yogya tersebut dikenal sebagai
Realisme Kerakyatan. Adapula yang menyebutnya sebagai Realisme Sosial.
KRITIK
DAN SARAN
Demikian
Makalah yang dapat kami buat, semoga bermanfaat. Jika ada kekurangan mohon
dimaafkan. Jika ada kritik dan saran mohon disampaikan karena kritik dan saran
anda sangat berguna bagi perbaikan makalah ini.
Sobat
blogger, jika anda tidak keberatan mohon cantumkan ini di REFERENSI makalah
anda :
Firdausiyah Lailatul.2012.Realisme Kerakyatan Yogyakarta. Lamongan: www.sonysetiawan65.blogspot.com